"ELECTIONS are won and lost on imagery," kata Mary Spillane, konsultan
politik di Amerika Serikat, mengomentari perkembangan proses pemilu di
negara demokrasi. Ideologi dan sistem nilai kini sudah ditanggalkan di
atas altar popularitas. Persuasi politik menjadi bahan olokan
hasil-hasil polling popularitas. Tidak hanya kebijakan, para pemimpin
juga dipilih dan ditinggalkan menurut arah angin opini publik yang
bertiup.Citra seorang pemimpin-ekstremnya-akan lebih dipertimbangkan
ketimbang kemampuan dan intelektualitasnya. Oleh karena itu, proses
penyampaian pesan politik menjadi lebih penting daripada isinya sendiri.
Pendek
kata, integritas politik sudah dinomorduakan. Pencitraan jauh lebih
dihargai daripada sebelum-sebelumnya.Politik adalah popularitas. Di
dunia popularitas semacam ini, media massa, terutama televisi, menjadi
panglimanya. Seymour (1989) mengatakan bahwa televisi kini merupakan
bagian yang sudah terintegrasi dari kehidupan politik. Kemampuan
televisi untuk menjangkau pemirsanya secara cepat dan luas, mulai dari
yang tinggal di apartemen mewah hingga ke pelosok dusun, membuatnya
selalu diburu oleh mereka yang hidup dari popularitas.Oleh karena itu,
kandidat pejabat publik harus sangat memerhatikan penampilan dirinya
ketika tampil di televisi. Mereka harus secara jeli memerhatikan baju
apa yang harus dipakai, bagaimana intonasi kalimat-kalimat pidatonya,
bagaimana style rambut harus ditata, aksesori apa yang mesti dipakai
atau dilepas untuk memperkuat citra dirinya. Pertimbangan semacam itu
pada dasarnya mengarah pada bagaimana citra diri kandidat akan dibangun
di hadapan publik. Pembangunan citra diri kandidat tersebut tentunya
berdasarkan hasil rekomendasi market research; apakah akan dicitrakan
sebagai sosok yang cerdas, berwibawa, religius, atau yang lainnya.
FENOMENA
semacam ini yang bakal ditemukan dalam dunia politik Indonesia ke
depan. Atau, paling tidak, fenomena ini sudah tergambar pada pemilu
presiden kedua kemarin. Pada pemilu yang untuk pertama kalinya kandidat
presiden dipilih secara langsung tersebut, sumber informasi utama
tentang kandidat presiden diperoleh pemilih melalui televisi. Dari
televisilah pemilih mendapatkan gambaran citra diri dari masing-masing
kandidat presiden.Survei preferensi pemilih yang dilakukan LP3ES pada
pemilu presiden lalu menunjukkan bahwa mayoritas pemilih menentukan
pilihannya karena mendapat informasi dari televisi (66,2 persen),
sedangkan media lainnya, seperti radio, koran, dan rayuan langsung tim
sukses hanya 33,8 persen. Para pemilih Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf
Kalla (SBY-JK), sebanyak 72,7 persen, juga mengakui bahwa mereka
dipengaruhi oleh media televisi dibandin media lain saat menentukan
pilihannya. Sementara mereka yang mencoblos Megawati
Soekarnoputri-Hasyim Muzadi hanya 56 persen yang mengakui dipengaruhi
oleh media televisi dibanding media lain saat menentukan pilihannya.
Fenomena
lainnya, pemilih Indonesia menjadi tampak lebih independen terhadap
elite partai politik. Partai politik sudah tidak menjadi referensi utama
lagi bagi pemilih. Justru pencitraan diri yang positif yang dibangun
melalui media televisi kini menjadi referensi utama bagi pemilih kita.
Oleh karena itu, keinginan elite politik tidak selamanya sebangun dengan
keinginan para pendukungnya. Masih segar dalam ingatan kita, pada
pemilu kemarin elite Partai Golkar dan PPP bersama PDI-P membentuk mesin
suara, yakni Koalisi Kebangsaan, untuk memenangkan Megawati-Hasyim.
Jajaran pengurus kedua partai politik tersebut dari mulai pusat sampai
ke desa kemudian melakukan "sosialisasi" ke massa pendukungnya secara
all out. Namun, apa dikata, hasil quick count LP3ES dan beberapa lembaga
lainnya menunjukkan pasangan SBY-JK mengungguli perolehan suara
pemilih. Hasil survei mengatakan sebagian besar massa pendukung Partai
Golkar dan PPP memercayakan suaranya ke SBY-JK dan mengabaikan imbauan
elite politiknya yang mendukung pasangan Megawati-Hasyim.Survei tersebut
juga menunjukkan bahwa massa pendukung partai-partai politik yang
menyatakan diri netral, seperti PAN dan PKB, juga ramai-ramai memberikan
suaranya kepada pasangan SBY-JK. Sebanyak 77 persen massa pendukung PAN
lari ke pasangan SBY-JK. Sementara massa pendukung PKB yang mendukung
SBY-JK sebesar 66 persen. Kalangan Muhammadiyah juga ramai-ramai
mendukung pasangan SBY-JK meski Amien Rais hanya memberikan dukungan
kepada SBY-JK dengan malu-malu. Nahdliyin juga tetap ramai-ramai menuju
TPS menggunakan hak pilihnya walaupun Gus Dur menyatakan diri golput.
Hanya kebijakan elite PKS dan PDS yang masih sebangun dengan pilihan
politik massa pendukungnya.
Persoalannya, apakah pergeseran
perilaku pemilih semacam ini sehat bagi perkembangan kehidupan politik
Indonesia ke depan? Apabila dilihat dari kacamata partisipasi politik,
hal ini tentunya sangat baik. Dengan pemilu langsung, setiap warga
negara diberi hak yang sama untuk memilih pemimpin yang mereka sukai.
Kehidupan negara tidak lagi hanya ditentukan oleh elite politik, tetapi
harus memerhatikan suara orang-orang yang terpinggirkan baik secara
ekonomi, sosial, maupun pendidikan.Kendati demikian, tegaknya negara
demokrasi juga membutuhkan kedewasaan pemilih. Seperti yang dikatakan
John Stuart Mill bahwa hanya pemilih yang rasional dan well informed
yang bisa menjamin demokrasi bisa berjalan dengan baik. Demokrasi bisa
menyeleksi pemimpin yang paling bijaksana, paling jujur, dan paling
tercerahkan di antara warga negaranya sendiri.
SEBAB itu, di sini
dibutuhkan media massa, seperti kata Habermas, yang mampu berperan
sebagai instrumen atau forum diskusi publik yang mencerahkan, rasional,
kritis, dan tidak bias terhadap pembahasan kepentingan umum seperti
urusan politik dan kebudayaan. Media yang memberikan edukasi politik,
yang menyediakan platform untuk diskursus politik publik, memberikan
fasilitas untuk mengalirnya opini publik dan umpan baliknya.Media massa,
terutama televisi, tidak hanya memosisikan diri sebagai media
infotainment. Apabila media massa seperti ini yang dominan, maka yang
akan muncul adalah politisi selebritis. Politisi yang selalu sibuk
dengan pencitraan diri di media massa tanpa pernah memikirkan arah
perkembangan bermasyarakat dan bernegara.
Kisah paling tragis
adalah yang pernah dialami masyarakat Filipina dengan presidennya,
Joseph "Erap" Estrada.Awalnya Erap, demikian nama populernya, adalah
Philippines Idol yang sangat digandrungi rakyatnya. Melalui televisi dan
media massa lainnya, dia mencitrakan sebagai sosok yang cakap, tegas,
hidup penuh sahaja, sosok yang dibutuhkan oleh rakyat Filipina yang
sedang berjuang dengan kemiskinan, korupsi, dan kriminalitas. Namun,
belakangan, setelah Estrada menjadi presiden, baru diketahui dalam real
life- nya Estrada adalah sosok yang korup dengan gaya hidup yang
foya-foya. Rakyat Filipina pun menjadi kecewa dan marah kepada Estrada.
Singkat cerita, melodrama politik ini berakhir dengan dijebloskannya
Estrada ke hotel prodeo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar